Senin, 28 November 2011

ilmu fiqh


Kitab Haji dan Umroh
Disari dari kitab :  Ar-riyadul Badiiah.
Kesemua dari haji dan umroh tidak wajib dilaksanakan dengan berdasar syari’at kecuali satu kali dalam seumur [hidup]. Sehingga, jikalau seumpama ada orang yang murtad [keluar dari islam] setelah melakukan haji dan umroh kemudian ia masuk islam kembali maka, tidak wajib atasnya mengulangi keduanya [haji dan umroh].
Syarat-syarat haji dan umroh adalah :
a.       Islam,
b.      Bulugh [menginjak umur lima belas tahun bagi pria dan wanita dan atau sudah mimpi basah dan atau sudah haid bagi wanita],
c.       Berakal,
d.      Bersifat merdeka,
e.      dan Istitho’ah [mampu].
Istitho’ah memiliki syarat-syarat sebagai berikut :
a.       mampu menanggung semua biaya  yang dibutuhkan oleh dirinya sendiri dan biaya yang dibutuhkan sanak keluarga dan pengikut-pengikutnya seperti pembantu dll , yang ia tinggalkan. Mampu menanggung biaya itu dimulai dari kepergiannya dari negaranya hingga, pulang kembali  ke negaranya.
b.      Mampu untuk berkendaraan [menaiki kendaraan] dalam bepergian dan kepulangannnya dengan tanpa kesulitan yang sangat. (masyaqot syadidah).
                 Dalam berkendaraan, jika mengalami  kesulitan (kepayahan / masyaqot) atas dirinya maka disyaratkan mampu mengendarai dalam tempat penyangga yang diberi payung (jawa;payon) jika dia tersakiti dalam keadaan panas dan dingin. (Gambaran ini adalah untuk mereka yang berhaji dengan menggunakan kendaraan hewan seperti  onta, kuda dsb.).
Jika masih mendapat kesulitan dalam berkendaraan  maka, hendaknya ia duduk di atas kursi yang mana kursi itu dipikul oleh beberapa laki-laki.
 Jika masih juga mendapat kesulitan maka, tidak diwajibkan berhaji atas dirinya sendiri namun, wajib baginya untuk menyewa seseorang yang menghajikan dirinya sebagai ganti atas hajinya.(disebut dengan haji badal). Wajib mencari pengganti jika memang ia mampu untuk menyewa orang lain.
Seumpama jika ia menemukan orang yang ingin menghajikan dirinya dengan tanpa biaya maka,  orang yang ingin menghajikan dirinya hendaknya minta izin dulu kepada dirinya.
Jika seorang meninggal dan ia mempunyai tanggungan berupa kewajiban melaksanakan haji fardlu [atau qhodo’, misal] maka, boleh bagi setiap individu walaupun orang lain [bukan keluarga mayit] untuk menunaikan haji guna menghajikan mayit [menggantikan hajinya] walaupun ia belum mendapat izin dari keluarga atau ahli waris mayit. Bahkan, boleh menghajikan simayit walaupun si mayit semasa hidup tidak berwasiat untuk menghajikan dirinya.  

2 komentar:

  1. assalamu'alaikum, mas.
    salam rindu dariku untuk temanku.
    ma'afkan aku baru kali ini aku membalas komentarmu. beginilah alfun.
    mas, maafkan aku jua, tak menghantar kepulanganmu. mas, dukungan mu kepadaku adalah sepirit untukku. mas, selama kita bersama, banyak sudah kenangan yan tak bisa dituliskan, mulai dari saat sekolah, syawir, dan lain sebagainya. semoga apa yang telah kita lalui bersama, menjadikan sebuah kenangan yang bisa kita petik buahnya.
    mas,sebaai seoran teman, izinkan aku berpesan untukmu. pesanku;
    selamt berjuan. dan horasss!!!!!
    mas, walaupun kita sudah tidak bertatap muka, namun masih ada alat yang bisa menjadikan kita saling berkomonikasi, afun berharap, semoga kita masih bisa sering bersama. akhirnya, sekali lagi selamt berjuang dan selamat menempuh hidup baru.
    jangan lupa, jika ada sesuatu yan ingin sanatir utarakan, utarakan saja.
    sekian, Alfun sewu.

    BalasHapus